Suara Denpasar - Pasca empat pejabat, termasuk Rektor Universitas Udayana (Unud) Prof. I Nyoman Gde Antara ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI). Pihak Unud pun berharap kasus ini bisa diselesaikan tanpa proses yang panjang di peradilan.
Sebab, dari penelitian yang dilakukan oleh pihak Unud bersama lima lembaga auditor termasuk Asisten III Kemenpolhukam. Diketahui, kesalahan yang dilakukan hanya sebatas kesalahan administrasi dan tidak fatal.
Hal itu diungkapkan Ketua Tim Hukum Rektorat Universitas Udayana Bali Dr. I Nyoman Sukandia. Dalam pemaparannya kepada awak media, Kamis 16 Maret 2023.
Dia menjelaskan beberapa hal sehingga jaksa penyidik Kejati Bali menetapkan empat orang ini sebagai tersangka.
Baca Juga:Terkait Dugaan Korupsi Dana SPI, Unud: Bukan Kesalahan Fatal, Kami Akan Lakukan Praperadilan
"Tiga (pejabat Unud menjadi) tersangka pungutan tanpa dasar. Di mana kira-kira letak kesalahan teman tadi sebagai tersangka," paparnya.
Dari penelusuran yang dilakukan akhirnya diketahui bahwa yang menjadi landasan jaksa adalah pengertian mahasiswa.
Di mana, jaksa penyidik Kejati Bali menyatakan bahwa pungutan dilakukan terhadap calon mahasiswa. Sedangkan persepsi Unud, mahasiswa adalah mereka yang dinyatakan lulus dan mendapatkan Nomor Induk Mahasiswa.
"Yang lulus (tes) agar melakukan salah satunya adalah pembayaran SPI. Kalau memilih nol, ya tidak membayar. Baru mendapat nomor induk. Di sini kami salahz barang kali ini masih bisa diperbaiki. Tidak ada kesalahan fatal dalam administratif," paparnya.
Begitu juga soal akun pendaftaran yang bisa diakses sebelum keluarnya SK Rektor pada 25 Juni 2020. Hal ini sebatas informasi dan bukan juga kesalahan fatal.
Baca Juga:BREAKING NEWS: Mahasiswa Unud Bisa Minta Kembali Dana SPI yang Sudah Dibayarkan
Lainnya adalah soal kerugian negara yang masih simpang siur. Di mana pihak Unud hanya mengakui soal kesalahan pungutan tidak berdasar Rp 3,8 miliar.
"Kami teliti bersama Deputi Tiga Menkopolhukam," terangnya. Hasilnya? Ditemukan angka Rp 1,8 miliar. Dana itu adalah kelebihan membayar mahasiswa saat menyetor SPI karena kesalahan pada aplikasi. Dia mencontohkan, jika mahasiswa mengisi SPI awal Rp 8 juta, tapi saat di aplikasi tidak bisa di klik.
Namun, hanya bisa diklik Rp 10 juta. Artinya ada kelebihan membayar Rp 2 juta. Nah, kelebihan ini sendiri sudah dicatat oleh BPK dalam pos pendapatan Negara bukan pajak dan siap dikembalikan kapan saja. "Dcek dan ricek kesalahan yang pertama adalah tahun lalu di kopi (dalam aplikasi) lupa di delete," dalilnya.
Begitu juga soal tudingan yang dialamatkan ke Rektor Unud. Jelas dia, semuanya tidak ada yang masuk ke kantor pribadi. Tapi, langsung ke kas negara karena pembayaran SPI ke rekening Negera.
"Maaf, jaksa pun selalu mencari-cari apa yang namanya itu kesalahan. Saya maklum memang didik untuk mencari kesalahan. Tapi asas keadilan, jaksa juga berwenang untuk menuntut bebas," terangnya. ***