Suara Denpasar - Putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat terhadap KPU menuai kontroversi panjang. Selain itu sanksi tersebut dinilai telah memberi preseden buruk bagi wajah demokrasi Indonesia.
Putusan itu merupakan hasil dari gugatan yang dilayangkan oleh Partai Prima yang merasa dirugikan oleh KPU RI saat verifikasi administrasi partai politik peserta Pemilu 2024. PN Jakarta Pusat menilai KPU RI telah melakukan perbuatan melawan hukum. Sehingga memenangkan gugatan Partai Prima atas KPU RI sebagai tergugat lewat putusan yang dikeluarkan pada Kamis (2/3).
Dengan demikian, PN Jakarta Pusat memberikan sanksi terhadap KPU RI untuk membayar ganti rugi materiil sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) kepada Partai Prima sebagai penggugat.
Selain itu PN Jakarta Pusat menghukum tergugat (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan pemilu 2024, dan meminta agar tahapan pemilu dimulai ulang dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari sejak tuntutan itu diputuskan.
Baca Juga:Moeldoko Tekankan Pentingnya Ketersediaan Pupuk Bagi Ketahanan Pangan
Artinya pemilu yang mestinya dilaksanakan pada tahun 2024, namun jika dilihat dari sanksi tersebut maka pemilu akan ditunda sampai kurang lebih pertengahan tahun 2026.
Menanggapi itu, banyak pihak menilai putusan PN Jakarta Pusat tersebut merupakan bagian dari strategi penundaan pemilu. Hal ini karena, dari segi kewenangan PN Jakarta Pusat tidak memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi terhadap KPU apalagi menuntut untuk menunda pemilu.
Tidak terkecuali Akademisi Universitas Udayana Bali, Efatha Efatha Filomeno Borromeu. Menurutnya keputusan tersebut bisa saja sebuah skenario dengan tujuan tertentu yang perlu untuk diwaspadai.
Maka dari itu, menurut pendiri Malleum Iustitiae Institute tersebut tidak salah jika publik menilai keputusan itu adalah rangkaian atau bagian dari rencana penundaan pemilu.
"Itu konsekuensi yang harus diterima, dan jika sudah begitu tentunya ini sangat memberikan preseden buruk terhadap demokrasi. Terlebih dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap setiap keputusan pengadilan," kata Efatha dalam sebuah diskusi dengan tema "Mengurai Kontroversi: Putusan PN Jakarta Pusat dalam Perspektif Filsafat, Hukum, dan Politik, di Jimbaran Badung Bali, Minggu, (5/3/2023).
Baca Juga:Inilah dr Ekles, Pacar Baru Amanda Manopo? 'Manda sosok perempuan yang sempurna...'
Selain itu, Efatha menilai putusan PN Jakarta Pusat telah keluar dari ranah yurisdiksi hukum. Sebab
Konstitusi telah menetapkan bahwa pemilihan diadakan setiap lima tahun. Namun kata dia, putusan PN Jakarta Pusat justru bertentangan dengan mandat konstitusi.
"Keputusan tersebut telah melanggar pemisahan kekuasaan, karena kekuasaan yudisial seharusnya tidak campur tangan dalam proses pemilihan," ujarnya.
Lebih lanjut kata dia, status demokrasi di Indonesia dianggap masih bebas menurut Freedom House. Namun banyak peristiwa termasuk keinginan menunda pemilu dapat mengurangi status demokrasi negara.
Efatha meminta agar pemerintah harus mengambil langkah-langkah untuk memperkuat demokrasi Indonesia dan memastikan tetap bebas dan transparan.
Selanjutnya, sebagai rekomendasi Efatha memberikan empat catatan yang dapat dijadikan pedoman untuk memastikan bahwa marwah demokrasi dapat terus berkembang di Indonesia:
1. Transparansi dan keadilan dalam proses pemilihan harus dipertahankan untuk memastikan bahwa semua partai politik memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum.
2. Lembaga Yudikatif harus memastikan bahwa keputusan yang dibuatnya proporsional dan tidak mengancam prinsip-prinsip demokrasi, termasuk prinsip pemilihan umum yang bebas dan adil.
3. Pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah strategis untuk menjaga stabilitas politik dan mencegah ketegangan atau polarisasi akibat keputusan ini bahkan analisis lingkungan strategis pasca pemilu.
4. Para Akademisi, LSM pemerhati demokrasi, kelompok ormas dan aktor intelektual internasional serta masyarakat diharapkan memberikan dukungan untuk menciptakan iklim demokrasi yang sehat di Indonesia dan bersedia untuk membagikan catatan kritis juga pengalaman pada praktik terbaik mereka untuk memastikan bahwa proses demokratis tetap terjaga. (Rizal/*)