Suara Denpasar – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menuding penyamaran intelijen sebagai wartawan atau jurnalis sebagai “cara kotor”. Seperti yang dilakukan Iptu Umbaran Wibowo yang menjadi kontributor TVRI di Blora, Jawa Tengah.
Namun, jauh sebelum Indonesia merdeka, “cara kotor” ini juga sudah pernah dilakukan pemerintah penjajah atau kolonial Hindia Belanda. Caranya sama, menggunakan institusi pers untuk menyusupkan agennya guna menjadi mata-mata.
Namanya H. Agus Salim. Yang mempelajari sejarah, nama ini tentu tidak asing. Pria asal Kota Gadang, Bukittinggi, Sumatera Barat, ini memang salah satu wartawan, pejuang nasional.
Pria yang lahir 8 Oktober 1884 itu tergolong cerdas. Dia menempuh pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS), lalu Hoogere Burgerschool (HBS) dengan predikat terbaik di HBS se-Hindia Belanda.
Baca Juga:Sinyal? Ketemu Neng Salma Lagi, Kang Dedi Mulyadi Sebut Cantik Sampai 16 Kali, Suka yang Alami
Ayah dari H. Agus Salim adalah seorang jaksa. Pada tahun 1906, Agus Salim ditawari C. Snouck Hurgronje, penasihat urusan Pribumi, menjadi staf Duta Besar Belanda di Jeddah, Arab Saudi.
“Snouck menawarkan Salim untuk bekerja sebagai konsul Belanda di Jeddah, Arab Saudi pada 1906,” tulis Allan Akbar dalam “Memata-matai Kaum Pergerakan” (2013), berdasar surat Snouck Hurgronje.
Dalam sejarahnya, Snouck juga seorang agen Belanda saat penaklukan Aceh dalam Perang Aceh. Dia menyamar sebagai syekh dari Arab. Kebetulan, Snouck pandai berbahasa Arab, memahami Islam dengan baik, bahkan mengaku beragama Islam dan berhaji.
Berkat peran Snouck Hurgronje, Belanda memenangkan Perang Aceh yang bertahun-tahun sebelumnya kalah “melulu”.
Kembali ke soal Agus Salim, Allan Akbar melanjutkan, sekembalinya dari Arab Saudi sebagai konsul Belanda di Jeddah, Agus Salim sempat bekerja di beberapa tempat sekaligus menjadi seorang agen polisi (Dinas Intelijen Politik).
Baca Juga:Polisi yang Nikahi Adik Istri, Iptu Haeruddin Bersabda: Itu Cara Istri Masuk Surga
“Yang kemudian ditugaskan untuk masuk ke dalam tubuh Sarekat Islam untuk mengawasi lebih dekat,” katanya.
Agar bisa masuk dalam dunia pergerakan dan jurnalistik, tentu saja, Agus Salim harus punya posisi tawar. Harus menjadi tokoh di kalangan pribumi terpelajar. Dia membuka sekolah dasar berbahasa Belanda, Hollandsch-Inlandsche School (HIS) pada 1912-1915.
Agus Salim juga menjadi jurnalis. Dia menjadi wakil redaktur Harian Netratja pada 1915. Pada tahu-tahun berikutnya, Agus Salim juga tercatat sebagai pemimpin koran Harian Hindia Baroe, dan Fadjar Asia.
Dengan posisi mentereng di dunia jurnalistik dan pendidikan, Agus Salim pun menyusup ke Sarekat Islam (SI) pada 1915. Pada waktu itu ada desas-desus HOS Cokroaminoto, pemimpin SI, akan menjual SI untuk berpihak ke Jerman, dengan melakukan pemberontakan di Hindia Belanda. Saat itu sedang Perang Dunia I.
Masuk ke Sarekat Islam, Agus Salim mendapat kedudukan yang tinggi. Dia menjadi orang nomor dua di bawah Cokroaminoto.
Bahwa dia sebagai agen PID diakui Agus Salim melalui tulisannya di Bandera Islam pada 2 Mei 1927.
“Sesoedah masoek itoe, saja poetoeskan perhoeboengan dengan pihak politie,” aku Agus Salim dalam tulisannya, dikutip dari Allan Akbar.
Walau dia mengaku sudah memutuskan hubungan dengan PID setelah dia masuk Sarekat Islam pada 1915, ternyata Agus Salim berbohong. Secara rahasia dia masih membuat laporan-laporan tentang kegiatan Sarekat Islam untuk diberikan kepada pemerintah.
“Laporan-laporan ini tidak pernah diketahui oleh pemimpin Sarekan Islam,” tulis Allan Akbar merujuk pada karya A.P.E. Koerver, “Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?” (1985).
Dalam perjalanannya di Sarekat Islam, Agus Salim menjadi salah satu pimpinan yang paling keras membersihkan SI dari pengaruh merah. Konflik ini berujung perpecahan dalam SI, antara SI Putih dan SI Merah. SI Merah kelah menjadi Sarekat Rakyat.
Agus Salim meninggal dunia pada 4 November 1954. Meski pernah memiliki cacat sebagai mata-mata pemerintah kolonial Hindia Belanda, berkat jasa-jasanya yang ikut dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, Presiden Sukarno menganugerahinya gelar pahlawan nasional pada 1961. (*)